Epistemologi menurut Ibn Hazm


Eoistemologi Menurut Ibn Hazm


A.    Biografi
Ibn Hazm Adalah seorang tokoh besar intelektual Muslim Spanyol yang Prodiktif dan jenius. Beliau salah seorang Ulama Zahiri yang sangat terkenal pemikaranya yang tekstual terhadap dalil Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Nama lengkap beliau adalah Ali Ibnu Ahmad Sa’id Ibnu Hazm Ghlaib Ibn Shalih Ibnu Sufya Ibnu Yazid. Lahir di Kordoba, tahun 384 H/994 M. Beliau wafat pada tahun 1064 M.
Ayahnya, Ahmad Ibn Sa’id adalah seorang mentri pada masa pemerintahan khalifa Al-Mansur dan putranya, Al-Muzaffar. Ibn Hazm dibesarkan dalam keluarga yang  kaya. Namun demikian beliau memusatkan perhatianya untuk mencari ilmu. Sebagai putra seorang mentri, pada masa pendidikan dasarnya, beliau  mendapat perhatian khusus. Para pelayan yang bekerja dirumahnya, tidak hanya diberi tugas untuk melayani dan mengurusi perihal rumah tangganya, melainkan sebagian ada yang diserahi tugas untuk mengajar dan mendidik Ibn Hazm.
Ibn Hazm memiliki semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu. Ketika ia memasuki usia dewasa, ia mempelajari berbagai bidang ilmu dan berguru kepada banyak Ulama. Ia belajar Hadits, Fiqih, dan Logika serta ilmu Kalam.

A.    Pendapat Ibn Hazm tentang Epistemologi
Epistemologi yang dimaksudkan di sini adalah suatu cabang ilmu yang membahas tentang bagimana cara memperoleh ilmu pengetahuan. Pengetahuan pada hakekatnya ialah keadaan metal (Mental State), mengetahui sesuatu berarti menyususn pendapat tentang sesuatu.
Ibn Hazm memberikan apresiasi yang tinggi terhadap manusia, khususnya yang berhubungan dengan epistemologi sebagai media memperoleh ilmu pengetahuan dalam rangka untuk mencapai kebenaran.

1.      Panca Indera
Ibn Hazm, menekankan betapa pentingnya persepsi indera dalam mencapai ilmu pengetahuan, karena panca indera terkait dengan jiwa sesorang. Ia memandang panca indera terhadap jiwa seperti pintu, gang, jendela dan jalan yang tidak dapat bekerja sendirian tanpa bantuan jiwa.
Panca Indera menurut Ibn Hazm, terkadang menemui kesalahan dalam memebuat keputusan, seperti bencana penyakit mati rasa yang menimpa seseorang yang membuat madu rasanya pahit, atau kesalan lainya yang terjadi pada panca indera, kesalahan ini bisa jadi disebabkan oleh bersambungnya indera dengan jasad. Dalam hubungan ini, Ibn Hazm barkata “kemampuan penangkapan jiwa, sebelum indera, terhadap jasad adalah beserikat, dan jasad sendiri adalah kotoran yang berat”.
Ketika indera banyak menemui kesalahan, Ibn Hazm tidak lagi semata-mata berpegang padanaya, namun beralih kepada akal yang mampu merangkul dan sekaligus memngungguli indera.
Dengan demikian, indera menurut Ibn Hazm, dengan kondisi yang sehat dan padahal yang sederhana bisa dijadikan sebagai alat untuk memperoleh ilmu. Namun ketika berhalangan (tidak sehat) informasinya ditolak.


2.      Akal
Ibn Hazm juga memberikan apresiasi yang tinggi pada pada akal, khususnya dalam masalah-masalah yang tidak dijumpai dalam Nash atau tidak dijelaskan dalam Syara’. Menurut Ibn Hazm, dalam karyanya Taqrib Li Hadd al-Matiq bahwa kekuatan daya tangkap akal lebih tinggi dari pada indera. Andaikata tidak ada akal, tentu kita telah mengetahui sesuatu yang hilang dari indera dan tidak mengetahui Allah.
Ibn Hazm menjelaskan tentang fungsi akal dalam kaitanya dengan syar’i dan pengambilan hukum seraya tidak mewajibkan, menjelekan, dan memandang baik, ia hanya melukiskan fungsi akal sebagai “memahami dan menetpkan bahwa Allah Swt berbuat apa yang dikehendakinya, andaikata Allah berkehendak (mengambil keputusan) mengharamkan sesuatu yang halal dan menghalalkan sesuatu yang haram, maka kewajiban kita mengikuti firman Allah Swt:
Dan mereka berkata ‘andaikan kami (dahulu) mendengar ayat-ayat dan menggunakan akal, niscaya kami tidak menjadi penghuni neraka Sa’ir “mereka mengakui dosa-dosa, maka binasalah penghuni neraka Sa’ir itu” (Al-Mulk 67:10-11)

Sebagaimana kata beberapa filosof Islam, teks Al-Qur’an mengandung pengertian lahir dan batin. Mereka berkeyakinan antara akal yang benar dan wahyu tidak mesti ada pertentangan.
Ibn Hazm memahami ayat Al-Qur’an hanya berdaasarkan teksnya saja(Harfiah). Hal ini sesuai dengan prinsip metode zhairi yang digunakan Ibn Hazm dalam berbagai karyanya, yaitu berdasarkan Zhahiri Al-Qur’an, sunnah dan Ijma’ sahabat, serta menolak metode Qiyas,istihsan, taqlid dan lain-lain.

3.      Intuisi
Intuisi merupakan anugrah dari Allah Swt. yang tidak diperselisihkan oleh kaum intelektual, dan dalam mengetahuinya tidak membutuhkan pemikiran, hal ini karena merupakan kejadian yang ada pada jiwa yang berasal dari Allah Swt, dan tidak ada dalil atau penjelasan rasional di dalamnya.
Intuisi yang oleh Ibn Hazm disebut ‘Ilmu jiwa’, dan kadang juga disebut ‘indera keenam’, tidak ada perbedaan di antara kaum intelektual kalau intuisi merupakan bagian dari aksioma dan tidak diragukan kebenaranya, kecuali oleh mereka yang rusak cara berpikirnya.
Menurut Ibn Hazm, kesalahan berfikir dan perbedaan ulama terhadap suatu masalah, tempat kembalinya tidak ada contoh-contoh intuisi, kesalahan tersebut lebih disebabkan oleh dua hal :

1)   Terkadang premis-premis itu panjang dan banyak, sehingga sulit untuk mengembalikanya kepada intuisi-intuisi itu, contohnya berhitung, apabila terdapat angka-angka yang banyak, akan menyebabkan terjadinya kekeliruan, dan perbedaan menyimpulkan, namun apabila sedikit, maka kemungkinan salah menghitung itu kecil, dan akan bersepakat tidak terjadi perselisihan.
2)   Kesalahan dan kerusakan dalam berfikir karenasikap fanatik terhadap pendapat tertentu dan mengikuti hawa nafsu yang dapat merusak akal dan menyebabkan kekeliruan dan kesesatan intuisi-intuisi ini, sehingga mengingkari sebagian premis-premis tersebut. Dalam hubungan ini Ibn Hazm berkata :Orang yang dapat membedakan dengan benar tidak akan ragu, bahwa masalah-masalah secara keseluruhan adalah benar dan tidak ada keraguan di dalamnya. Keraguan terjadi setelah diketahui bahwa akal orang tesebut dimasuki oleh kerancuan berfikir yang tidak dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, seperti penyakit mati rasa pada sesorang yang merasakan madu itu pahit, dan penyakit inderawi lainya.
Menurut Ibn Hazm, pengetahuan manusia diperoleh dan berkembang melalui dua daya, yaitu daya indera dan akal. Daya indera mampu menangkap realitas objek, sedangkan akal menangkap hal-hal yang abstrak. Kemampuan akal menurut beliau adalah lebih utama dari pada kemampuan indera, karena daya indera yang normal sekalipun terkadang mengalami kesalahan dan kelemahan serta dapat keliru dalam menangkap realita obyek dibandingkan dengan kemampuan akal dalam tangkapanya terhadap obyek. Di samping itu akal dapat aktif dengan kemampuanya sendiri dalam berfikir, sementara indera sangat bergantung pada kerjamanya dengan daya akal dan keadaan tubuh dalam aktifitasnya dan tunduk pada perintah akal, tanpa akal, manusia tidak mampu mengetahui sesuatu objek yang ghaib diluar tangkapan indera, terutama segala sesuatu yang termasuk dalam masalah metafisik.

Daftar Pustaka
Majid Fahkry, Sejarah filsafat Islam, 2002,Mizan Bandung.

Suito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, 2003,Angkasa, Bandung.

Komentar

Postingan Populer